The Song of Lullaby, Semua Telah Berubah  

Diposting oleh andira

The Song of Lullaby
Oleh : Candra Kirana
-diangkat dari lagu Lullaby oleh Gita Gutawa-

-Semua Telah Berubah-

Matahari bersinar, burung-burung terbang berkicau ceria arungi langit yang mulai terang. Awan-awan putih kembali hiasi dunia. Daun-daun terbang tertiup angin. Berhembus lewati pelosok desa dengan anggun. Padang hijau diluar sana kembali bersinar menyejukkan hati setiap orang yang melihatnya. Tapi bukan untuk gadis itu.

Kriiiiing!! Kriiing!!!

Terdengar suara bising di sebelahnya, mengganggunya dengan pekikan nyaring memekakkan telinga. Benda itu berteriak tak henti, pantang menyerah untuk membangungkan pemiliknya yang sedang sibuk berkutik dengan selimut dan bantal-bantal.

"Aaaarrggg!!"

Gadis itu setengah bangkit, membuka setengah selimut yang melilit tubuhnya. Sebelah tangannya yang bebas meraba-raba sekitarnya untuk mencari benda itu, dan yang sebelah lagi berusaha melindungi telinganya dari serangan suara bising. Dengan mata terpejam ia mencari sumber suara itu.

Beberapa menit berlalu, tapi ia tak bisa menemukan sumber suara jenis pemecah telinga dan pengganggu mimpinya itu. Sangat tidak sopan mengganggu mimpi orang, baginya itu adalah aturan bagi segalanya baik pengganggunya manusia maupun benda tak hidup. Mengapa ia berpikiran begitu? Coba bayangkan, hanya dengan sebutir pil orang bisa mati. Padahal benda itu tak lebih besar dari cincin tapi bisa membuat orang yang meminumnya tergeletak lemas dengan jantung tak berdetak. Begitu pula yang sedang dialaminya saat ini. Hanya dengan benda sebesar tangannya saja bisa membuat gendang telinganya mau pecah. Ini gila, pikirnya. Akhirnya dengan berat hati ia turun dari kasur empuknya.

BRUK!!

"ADUH!" pekiknya lagi sambil mengusap kepalanya yang terbentur karpet. Karpet tetap saja tak menghapus sakit kepalanya. Dengan enggan ia membuka matanya. Lalu mencari-cari letak benda itu. Tak lama ia melihatnya, benda itu bernyanyi-nyanyi ria tanpa dosa di atas meja kecil di samping tempat tidur. Amarahnya memuncak, cukup sudah nyanyian itu. Ia mengambil jam beker sialan yang merusak tidurnya. Menekan tombol off dalam-dalam dan melemparnya ke tempat tidur.

Dengan tangan masih mengusap kepala, ia berjalan menuju cermin besar dekat lemari pakaiannya. Sosok di cermin itu kacau. Kacau sekali dengan rambut hitam panjang yang acak-acakan, raut wajah kusut dan tentu saja bertambah buruk dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Mata biru-nya terlihat letih dan sembab.

Ia tak cukup tidur.

Ya, tentu saja. Setelah dihantui mimpi-mipmi itu siapa yang bisa tidur nyenyak?

Tanpa mempedulikan matanya, ia mengambil handuk kemudian berjalan menuju kamar mandi. Tak lama kemudian ia keluar dari kamar mandi, ganti baju seragam putih merah seperti biasa dan menyisir rambut panjangnya kemudian menghiasinya dengan pita merah sebagai bando. Mengambil tas biru putihnya kemudian berjalan menuju pintu kamarnya.

Ia keluar, menutup pintu kamar kembudian berbalik. Ia melihat sebuah pintu kayu berhias corak-corak berwarna emas tepat dihadapannya. Dulu itu kamar ayah dan ibunya. Sekarang, hanya satu orang yang tidur di sana.

Ia beralih menuju tangga, turun kemudian berjalan menuju ruang makan. Ia melewati beberapa meja yang ditata kemudian duduk di salah satu kursi di sekeliling meja makan. Di sudut ruangan terdapat peralatan-peralatan dapur yang tersusun rapi. Sedangkan di sisi lainnya terdapat lemari kaca besar, menampilkan berbagai piring dan gelas kaca hias yang ditata sedemikian rupa. Itu milik ibunya, ia yang mengumpulkan semua barang yang ada di lemari itu.

Ibu, pikirnya.

Ia tak ingin berpikir tentang itu lagi. Dengan segera ia mengalihkan pikirannya menuju benda kecil yang diletakkan di atas tudung. Ternyata itu sebuah pesan.

Dear Clarista,

Maafkan ayah tidak berpamitan dulu padamu. Tadi ayah sempat ke kamarmu tapi kau masih tidur. Kulihat tidurmu nyenyak sekali jadi ayah enggan membangunkanmu. Ayah sudah membuatkan omelet kesukaanmu. Semoga harimu menyenangkan.

Salam hangat.
Ayah

"Hn," gumamnya pelan. Ia membuka tudang dan melihat satu piring omelet dan segelas susu yang sudah dingin, seperti biasa.

Hari ini rumah itu sepi. Tapi sepertinya bukan hanya hari ini. Hampir setiap hari rumah itu sepi. Ayahnya yang sering bekerja keluar kota jarang sekali terlihat di rumah. Dan pembantunya hanya datang tiga kali dalam satu minggu, yaitu setiap hari senin, rabu, dan jum'at. Apalagi dia tak punya saudara, hanya dia yang sering ada di rumah.

Lalu dimana ibunya?

Sudah dua tahun berlalu sejak ibunya meninggalkannya. Pergi darinya menuju suatu tempat yang tak mungkin ia kunjungi. Pergi ke alam lain.

Setelah ibunya pergi segalanya berubah. Ia hampir tak pernah bertemu ayahnya karena beliau terlalu sibuk bekerja, ataukah bukan sibuk bekerja tapi menyibukkan diri dengan bekerja? Entahlah, ia tak mau berpikir lagi. Rumahnya tak lagi bewarna, hidupnya telah berubah. Pelangi yang dulu hiasi hatinya kini telah pergi. Hanya tinggalkan satu warna di hidupnya, abu-abu.

Tak ada lagi yang bisa menarik hatinya. Senyum yang biasa menghiasi wajah putihnya kini telah sirna. Tatapan hangat yang terpancar dari matanya kini telah redup, digantikan dengan tatapan dingin tak peduli.

Rasanya baru kemarin ia melihat ibunya tersenyum seperti biasa. Mengecup keningnya dan mengucapkan selamat jalan sebelum ia berangkat sekolah. Rasanya baru kemarin ia bertengkar dengan ayahnya karena tak dibelikan teddy bear dan pergi dari rumah. Rasanya baru kemarin langit mendung dan hujan turun membasahi tubuhnya yang sedang termenung di tebing pinggir sungai. Rasanya baru kemarin ia melihat dengan mata kepalanya sendiri ibunya yang paling ia sayangi terpeleset dan jatuh dari tebing.

Rasanya baru kemarin ibunya meninggalkannya.

Mendadak kepalanya pusing. Mengingat kenangan pahit membuat hatinya semakin hancur, atau malah tak ada lagi yang tersisa darinya. Kepergian ibunya seakan sang ibu membawa sebagian jiwanya untuk pergi bersamanya. Kini tak ada lagi yang tersisa darinya. Hidupnya hampa, jiwanya hancur, hatinya kosong dan tak ada lagi yang bewarna.

Ia cepat-cepat menyingkirkan pikiran itu. Ia ingin tak ada lagi yang membuat emosinya memuncak. Dengan malas, ia kembali melahap makanan yang telah disiapkan oleh ayahnya. Meminum susu dengan sekali teguk kemudian berjalan menuju pintu utama.

Pintu utama dekar dengan ruang tamu. Ruang tamu ditata rapi dengan kursi-kursi bercorak kuno berwarna coklat tua. Sofa-sofa ditata sedemikian rupa di tengah ruangan. Satu sofa panjang diletakkan di sebelah meja kecil yang diatasnya terdapat bunga kristal berwarna-warni. Di atas sofa digantung sebuah lukisan pemandangan yang panjangnya hampir sama dengan panjang sofa. Lukisan itu bernuansa hijau lumut. Di sisi lainnya dipasang cermin berukuran besar, lebih besar daripada ukuran lukisan dihadapannya. Dibingkai dengan kayu-kayu bercorak naga. Ayahnya memang mepunyai jiwa seni tinggi, oleh karena itu banyak barang-barang bercorak kuno di rumahnya. Sofa, bingkai kaca, meja, kursi makan, lemari kaca, dan sebagainya.

Terdengar suara lonceng yang menggema di setiap ruangan. Suara itu berasal dari ruang keluarga, yaitu dari jam besar tinggi yang diletakkan di tengah tirai kayu yang memisahkan ruang keluarga dan perpustakaan ayahnya. Di ruang keluarga diletakkan sofa-sofa empuk dengan bantal kecil di setiap sisinya. Sofa itu menghadap ke sebuah televisi 30 in. Di sampingnya terdapat lemari kaca berisi miniatur-miniatur yang dikumpulkannya dari kecil. Miniatur itu didapatnya dari ayahnya sebagai hadiah, baik hadiah atas sikapnya yang baik, prestasinya, maupun ulang tahunnya. Betapa bahagianya ia saat iu.

Waktu terus berjalan, lamunannya dihentikan oleh suara lonceng jam besar tadi. Jam itu menunjukkan pukul 06.00. Ia harus segera berangkat, kalau tidak ia akan terlambat.

Ia berlari-lari kecil menuju pintu utama, mengunci lalu memasukkan kuncinya ke saku jaket putihnya. Berlari menuju gerbang besar yang melindungi rumahnya. Kemudian berjalan keluar.

Kuharap tak ada yang berbeda, ucapnya dalam hati

-TBC-

This entry was posted on 06.12 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar